KOMUNISME VS KOMBURISME

Standar

Mengajarkan para Jenderal yang tak pernah belajar Ideologi, tapi berani menjustifikasi ideologi. #kasihan

abirekso

…Di lain pihak, para penulis ‘Manikebu’  seakan-akan punya obsesi apa yang mereka sebut dengan ‘kejujuran’. Artinya suatu sikap yang otentik, yang sejati…

-Goenawan Mohammad, (Afair Manikebu, 1963-1964).

Mungkin usia saya masih satu bulan, ketika Goenawan Mohammad memulai sebuah narasi keterangan atas ingatannya dua puluh empat tahun sebelum tulisan itu dia selesaikan dalam rentang satu bulan. Tahun-tahun itu ketika Goenawan Mohammad menuliskan ‘Afair Manikebu, 1963-1964’ , adalah tahun dimana alegori ‘bersih-bersih’ kembali diserukan akibat ekses pertarungan politik elit dan perebutan kedekatan ‘duduk’ dengan tuan rezim penguasa, Soeharto.

Istilah ‘bersih-bersih’ atau ‘bersih lingkungan’ kembali menjadi pembicaraan publik seraya teror bagi mereka yang posisinya sedang tidak aman. Saat itu (1988) Soedharmono memang salah satu tokoh yang dicalonkan oleh MPR untuk mendampingi Soeharto. Kubu yang tidak simpatik dengan Soedharmono, lantas kembali menebar bahwa ada kelompok PKI dibelakangnya. Meski terjadi pecat-memecat dikalangan birokrasi, juga tuduh-menuduh dilingkungan perwira ABRI saat itu, nyatanya Soedharmono yang di cap…

Lihat pos aslinya 1.721 kata lagi

IDEOLOGI MENGGUGAT

Standar

“Politik kebudayaan yang positif ini tidak memberi ketentuan mengenai isi dan bentuk kebudayaan itu, ia tidak memaksakan corak dan gejala kesenian yang dikehendaki. Ia bermaksud memberi dorongan serta kesempatan untuk berkembang yang sebesar-besarnya kepada daya cipta rakyat”

(Soedjatmoko, Kebudayaan Sosialis)

Beberapa hari lalu, kita sebagai sebagai sebuah bangsa juga warga negara Indonesia diingatkan bahwa 1 Juni adalah hari lahir Pancasila. Bagi kita yang peduli dalam membicarakan persoalan bangsa serta perwujudan sebuah tatanan yang adil-sejahtera, mencantum kan pancasila dalam obrolan keseharian adalah sesuatu yang tak terelakan.

Ada banyak tulisan yang begitu menarik untuk dijadikan obrolan sore bersama tematik “Hari Lahir Pancasila”. Tulisan Budiman Sudjatmiko yang betajuk “Pancasila dan Konstelasi Dunia” adalah salah satu yang menarik, sekaligus menjadi pembahasan. Memaknai 1 Juni bukan saja gegap gempita dalam diskursus sejarah Pancasila di lahirkan, tapi ada soal lain yang juga begitu kronis dalam memahami pancasila ditengah masyarakat kita. Belakangan, sebuah ide, kreativitas dan pendapat yang berbeda lantas diperbenturkan dengan gagasan Pancasila.

Padahal, dalam pidato Bung Karno yang menggebu-gebu 1 Juni 1945 ditengah rumunan rakyat yang hendak memerdekakan diri, tersusup agenda kebebasan segenap solidaritas gotong-royong. Juga, bukan saja kemerdekaan untuk bangsa-negri sendiri, namun juga untuk bangsa-bangsa lain yang masih terjajah. Soekarno, menjadi pertanda zaman dimana beralihnya sistem penjajahan koloni, menuju bangsa merdeka dan berdaulat, dalam Pancasila lah segala termanifest perjuangan rakyat Indonesia.

Budiman Sudjatmiko, menuliskan pandangananya soal Pancasila dalam Koran KOMPAS 1 Juni 2016. Dalam gagasanya, Budiman mempertautkan kemurnian Pancasila dengan pergaulan ide dan gagasan global.

“Soekarno meminta PBB menjadikan Pancasila sebagai sistem etik. Ia menawarkan dunia dimana Liberalisme dan Marxisme serta Nasionalisme dan Internasionalisme dapat hidup berdampingan dalam kerangka sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme” 

Dalam pandangannya menyiratkan satu arti penting bagi penghetauan dan kelangsungan peradaban demokrasi di Indonesia. Bahwa jika kita menempuh sebuah penyeledikan yang serius akan Pancasila itu sendiri, nyatanya dia tidak berdiri tunggal. Ada banyak episteme ilmu pengehetauan yang dirangkum menjadi satu konsesi ide, yaitu Pancasila.

Dengan begitu kita juga harus tersadarkan sekaligus tercerdaskan, bahwa gagasan Pancasila bukan semata-mata entitas penghetauan yang di gali dari sistem etik masyarakat komunal di Nusantara, tapi juga Pancasila mengkutip manuskrip-manuskrip dari Barat. Kutipan, diatas juga hendak menyatakan bahwa Nasionalisme yang kita inginkan, adalah Nasionalisme yang bergaul dengan gagasan-gagasan internasional, dia tidak sempit.

Disensus Pancasila

Sejak awal Pancasila diletakan sebagai identitas ideologi Nasionalisme Indonesia, sebagai mana dikutip dari tulisan Yudi Latif dalam Opini Media Indonesia 1 Juni 2016, yang bertajuk “Kelahiran dan Esensi Pancasila” dalam Media Indonesia.

“Setiap fase konseptualisasi Pancasila itu melibatkan partisipasi berbagai unsur dan golongan. Meski demikian, tak bisa dimungkiri bahwa dalam karya bersama itu ada individu-individu yang memainkan peranan penting. Dalam hal ini, individu dengan peranan yang paling menonjol ialah Soekarno”.

Dalam keterangan lebih lanjut Yudi hendak mengatakan bahwa Pancasila sejajar dengan sesuatu yang dikatakan falsafah dan saintifik, jika merujuk pada pendapatnya maka Pancasila bukan saja diperlakukan sebagai satu ideologi bangsa melainkan juga karya epistemologi. Memiliki beberapa irisan pendapat dengan Budiman Sudjatmiko yang menulis di media massa berbeda. Kedua pendapat ini kembali meneguhkan kita bahwa Pancasila adalah satu-satunya sistem pertahanan nasional yang harus diletakkan kembali pada khittah-nya. Dimana sebenarnya Pancasila sebagai pintu masuk dalam pergaulan global, karena disana kita sebagai sebuah bangsa bisa melakukan intervensi positif terhadap tatanan dunia internasional.

Tapi sialnya, kita mengalami problem terhadap Pancasila itu sendiri pasca runtuhnya orde lama dan lahirnya orde baru. Terjadi disensus terhadap Pancasila, istilah Pancasila menjadi melebar kemana-mana; mulai dari ‘Kesaktian Pancasila’, ‘Kebangkitan Pancasila’, Ekonomi Pancasila, Azas Tunggal Pancasila, sampai-sampai Pancasila menjadi merk andalan organisasi-organisasi yang kadang kala sifat dan kepribadiannya bertolak belakang dengan Pancasila itu sendiri.

Jacques Rancière, adalah seorang Marxist Perancis (penerus Louis Althusser) yang menguraikan bagaimana dalam politik itu terjadi secara disensus dengan tipu daya bahasa kekuasaan, filsafat itu tertuang dalam karyanya “Dissensus : On Politics and Aesthetics”. Dalam realitas sejarah demokrasi Indonesia ‘disensus politik’ terjadi dalam rentang 30 tahun masa orde baru. Pancasila 1 Juni telah dibelotkan menjadi Kesaktian Pancasiala, yang sebenarnya dalam terminologi ‘Kesaktian Pancasila’ tidak terkandung perdebatan alot soal ide dan gagasan, itu secercah noktah dalam perjalan sebuah bangsa.

Disensus Pancasila berjalan bersamaan dengan prilaku oppressive negara (dibawah koalisi Partai Politik-Militer-Birokrasi) banyak intelektual saat itu menyadari bahwa terjadi pembelokan makna atas Pancasila, namun kekuatan pena dan suara tak cukup ampuh untuk melunakan senjata dan kuasa. Pancasila yang awalnya terdiri dari partikel-partikel ide dan gagasan maju, di bekukan menjadi satu atom padat yang selalu siap meledakan siapa saja yang mengeluarkan pendapat berbeda dengan penguasa.

Puluhan tahun Pancasila mengalami masa kronis dalam penjabaranya, Pancasila dikurung dalam sebuah terminologis sempit, perlahan Pancasila hendak dimetamorfosis menjadi dogma-dogma kuasa. Disana lah sebenarnya salah satu beban sejarah generasi-Reformasi, mereka punya tanggung jawab dimana Pancasila dialih fungsi menjadi pemersatu bagsa, bukan alat tukar kuasa.

Universitas Minus Produktivitas

Merayakan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, juga harus diisi dengan produktivitas pemikiran-pemikiran progresiv. Karena berangkat dari banyak pendapat para ahli, boleh kita simpulkan bahwa Pancasila bukan saja diperlakukan sebagai sebuah ideologi bangsa, namun juga sebagai sebuah karya epistemologi.

Maka dengan begitu, Pancasila sejatinya terwujud dalam kebudayaan politik, aktivitas ekonomi serta interkasi sosial kita dalam keseharian. Butuh pengehetauan yang teruji dan saling menguji gagasan satu sama lain. Butuh energi dan waktu cukup panjang untuk kembali meletakkan Pancasila ditempat yang semestinya.

Kembali pada tulisan Budiman Sudjatmoko, dimana dia mengingatkan kita bahwa selalu ada kaitan yang erat antara kebudayaan dan pengehetauan.

”Homogenisasi kebudayaan ternyata tidak pernah terjadi. Konektivitas global justru membuat diversitas budaya yang terserak di perbagai penjuru bumi mendapat kesempatan untuk tampil secara global. Setiap orang berlomba-lomba menunjukan keunikan identitasnya”

Ternyata sebagai sebuah bangsa Indonesia memang harus secara sukarela mempengaruhi atau dipengaruhi oleh ide-gagasan global. Justru dengan begitu kesalehan ideologi kita kembali diuji ditengah pertarungan diskursus dunia yang terus berjalan. N-gram bahkan menunjukan bahwa trend penggunaan istilah ‘Nationalism’ mengalami peningkatan sejak 1985, bersaing dengan penggunaan istilah ‘Capitalism’. Dua istilah ini bersaing dalam kontestasi perdebatan ideologi kontemporer.

Universitas menjadi salah satu lembaga yang penting sebagai upaya kerja keras kita dalam agenda meletakan kembali Pancasila disebagaimana tempatnya. Universitas sebagai lembaga penting dalam melahirkan produk-produk kader bangsa yang punya kaliber internasional, seperti apa yang menjadi cita-cita founding father.

Dunia akademik memang harus mengemban banyak tuntutan publik, itu menjadi sangat wajar dan lumrah karena pengehetauan itu sendiri diproduksi dalam intitusi akademik, bersama nilai-nilai intelektualitas, integritas juga demokratis. Universitas menjadi les priorités dalam pergaulan publik, karena didalam sana seharusnya tumbuh segala ide dan gagasan yang mampu meletakan kembali Pancasila dimana semestinya disandingkan.

Sebuah institusi riset kredibel internasional, bernama SCImago Institution Rangking yang baru berdiri sejak 2009 di Madrid Spanyol, melakukan sebuah riset menarik terkait epistemelogi pengetahuan dan dokomen-dokumen yang layak menjadi referensi jurnal internasional. Basis enskripsi datanya ada pada universitas-universitas disetiap negara.

Dalam data mereka trend produktivitas pengehetauan memang mengalami peningkatan, hal itu dimulai sejak 2007. Dalam data SCImago, 2007 Indonesia mengahsilkan 1.157 sebuah karya yang layak menjadi kutipan, pada tahun 2014 Indonesia melahirkan 5.431 karya yang layak dikutip. Selama kurang lebih tujuh tahun pertumbuhan produksi pengehetauan di Indonesia 4.274 karya ilmiah yang layak kutip, jika dirata-ratakan kurang lebih 600 karya lahir tiap tahun.

Namun, jika kita bercermin dengan negara tetangga kita Malaysia pertumbuhan karya ilmiah mereka jauh mengalami signifikansi yang progresiv. Pada tahun 2007 mereka sudah mencapai 4.959 karya layak kutip, pada 2014 mereka mencapai angka yang signifikan 24.503 karya.

Komparasi itu menggambarkan bahwa masih minimnya tradisi kampus Indonesia dalam melakukan produktivitas pengehetauan. Jelas pertumbuhan setra pembangunan kesejahteraan di Malaysia ada relasinya dengan produktivitas ilmiah yang mereka lahirkan. Terlepas, bahwa ada pembedaan dalam anatomi demokrasi Malaysia yang masih harus bercermin dengan Indonesia. Basis penelitian ini memang berangkat dari universitas-universitas di negaranya masing-masing, karya-karya itu dihitung dari jurnal dan buku yang dihasilkan oleh kampus-kampus. Lantas apa hubunganya dengan Pancasila? Jelas erat hubungannya antara kebudayaan politik dan pengehetauan, terlebih ada upaya kita dalam meletakkan kembali Pancasila pada khittahnya.

Oleh karenanya, Universitas harus bekerja dalam konteks pedagogi yang sebenarnya, serta menanamkan sebuah kecintaan beserta keluhuran pengabdian atas pengehetauan itu sendiri. Kampus harus mampu melahirkan generasi bangsa yang bisa menjadi inspirasi generasi berikutnya. Kampus harus membersihkan diri dari korupsi, narkoba, dan disintegritas kepribadian. Karena disanalah sebenarnya harapan bangsa bergantung. Universitas menjadi kompas arah bangsa, baik maju atau menemukan kehancuranya sendiri.